Tag: Industri Indonesia dikala Orde Baru

Industri Indonesia dikala Orde Baru

Industri Indonesia dikala Orde Baru – Dalam beberapa tahun ke depan, kehadiran bintang film asing dalam film-film Indonesia mungkin akan kembali marak. Belakangan ini, industri perfilman tanah air memang tengah ramai lagi. Hal ini berpotensi terjadi peningkatan peluang kerjasama dengan pihak asing, yang salah satunya menarik minat para pekerja seni dari negara tetangga untuk turut bermain dalam film-film buatan orang Indonesia.

Nasrul Suhaimin bin Saifuddin atau lebih dikenal dengan sebutan Bront Palarae adalah salah satu aktor asing dalam film Indonesia kiwari. Ia pertama kali dikenal publik tanah air pada tahun 2015 melalui serial televisi Halfworlds yang tayang di HBO Asia. Nama aktor asal Malaysia ini semakin terkenal setelah memerankan tokoh villain Pengkor dalam film Gundala besutan Joko Anwar. https://morrowpacific.com/

Industri Indonesia dikala Orde Baru

Berkat film produksi gabungan Indonesia-Thailand tersebut, Bront Palarae mengaku kecanduan berkarier di Indonesia. Perfilman Indonesia memberinya lebih banyak tantangan dibandingkan dengan berakting untuk film-film Malaysia yang sudah dilakoninya selama hampir 15 tahun. https://www.benchwarmerscoffee.com/

“Terus main di Indonesia itu semuanya terasa berbeda. Mulai dengan dialog dan interpretasi yang juga berbeda jadi aku ngerasanya seru banget,” ujarnya. www.benchwarmerscoffee.com

Dengan adanya kehadiran bintang film asing di perfilman Indonesia bukan hal baru. Pada periode 1980-an, industri film Indonesia banyak mengimpor bintang film asing dari negara-negara Barat, khususnya Amerika. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Berbeda dengan Bront Palarae yang dituntut beradaptasi dengan gaya penuturan film Indonesia, saat itu bintang film asing justru direkrut dengan segala keistimewaan sebagai pemeran utama. Kehadiran mereka seolah menjadi harapan terakhir agar film-film Indonesia yang kesulitan mendapat izin dari Badan Sensor Film Orde Baru tetap laku dijual ke bursa film internasional.

Di sekitar tahun 1950-an, Djamaluddin Malik, seorang pengusaha asal Minang, pernah merintis kerjasama antara perfilman Indonesia dengan perusahaan asal Filipina dan India. Dengan kerjasama itu, ia yakin dapat memperbaiki mutu film Indonesia.

Alasan utama perbaikan mutu kembali menjadi motif produser film Indonesia tahun 1970-an dengan mencari mitra sampai ke Eropa. Di tahun 1971, tercatat ada dua produksi gabungan dengan dua perusahaan film Italia. Yang salah satunya film berjudul The Virgin of Bali yang berkisah tentang aksi heroik turis Inggris melawan kelompok penjahat pemburu harta karun di Pulau Dewata.

Dengan ada masifnya pengaruh dari luar atau asing dalam bidang produksi, unsur kekerasan dan seksualitas tak ayal menjadi tema umum dalam perfilman tanah air sepanjang dekade 1970-an. Menurut dua aktor, yaitu Garin Nugroho dan Dyna Herlina dalam Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2013: hlm.177), kondisi serupa juga terjadi di ranah televisi. Tercatat dalam tahun 1969 hingga 1981, TVRI menyiarkan tidak kurang dari 87 film serial asal Amerika bertema kriminalitas.

Data- data tersebut bisa juga berarti bahwa jumlah film impor bertema seks dan kriminalitas yang dapat ditonton di bioskop seluruh Indonesia begitu melimpah. Terdapat dalam manuskrip koleksi Sinematek Indonesia berjudul 90 Tahun Bioskop di Indonesia (1990: hlm.72) yang disusun SM Ardan, film Amerika yang bertutur tentang cinta dan kriminalitas menjadi jenis cerita yang paling disukai oleh penonton Indonesia berdasarkan hasil survei nasional tahun 1971.

Bukannya meningkatkan mutu produksi dalam negeri, kecenderungan ini malah melahirkan lebih banyak film kategori Kelas B yang memiliki mutu seadanya. Ada beberapa rumah produksi lokal seperti Rapi Film bahkan tidak segan bereksperimen terhadap unsur kebudayaan lokal dan bentuk-bentuk kekerasan yang mengekspos banyak darah. Hasil daripada percobaan ini melahirkan film Jaka Sembung Sang Penakluk (1981) yang diadaptasi dari komik kepahlawanan karya Djair Warni.