Karya Film Indonesia Semenjak Orde Baru

Karya Film Indonesia Semenjak Orde Baru – Bersumber dari sebuah penulisan “Mondo Macabro as Trashy/Cult Film Archive: The Case of Classic Indonesian Exploitation Cinema,” Ekky Imanjaya menjelaskan bahwa film-film seperti itu umumnya sangat dibenci kritikus film dan otoritas sensor.

Bahkan, sejak kemunculannya di pengujung 1970-an, pemerintah Orde Baru sudah berusaha menyingkirkan film-film tersebut karena dianggap tidak mewakili suara film nasional. nahjbayarea.com

Karya Film Indonesia Semenjak Orde Baru

“Film-film ini, yang sering mengandung fantasi dan eksploitasi besar-besaran kekerasan dan seksualitas, tidak dianggap oleh rezim Orde Baru sebagai karya yang mewakili Indonesia,” tulisnya.

Walaupun mendapat sebuah kritik, film seperti Jaka Sembung mampu mendatangkan keuntungan komersial yang besar. Seorang penulis, Hikmat Darmawan dalam sebuah artikel “Indonesian Cinema as Part of The World Cultural Heritage,” mengemukakan bahwa film yang dibintangi Barry Prima itu laku di pasar film Cannes pada tahun 1982 dengan keuntungan hingga mencapai 67 ribu dolar AS.

Kesuksesan Jaka Sembung membuat beberapa produser mengirimkan film-filmnya ke pasar film Cannes dan American Film Market khusus film-film kelas B. Sepanjang 1980-an, setidaknya ada tiga produser yang aktif menempuh jalur distribusi ini. Mereka adalah Gope T. Samtani (Rapi Films), Raam Punjabi (Parkit Film), dan Raam Soraya (Soraya Intercine Film).

Penonton di Eropa Barat dan Amerika Serikat antusias terhadap film yang sering dicela kritikus sebagai trash film atau film sampah. Menurut Ekky Imanjaya dalam makalahnya yang lain “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films”, Sejumlah film yang dibintangi Barry Prima seperti Primitif dan Pasukan Berani Mati merupakan film yang sangat populer di Australia pada awal 1980-an. Informasi ini Ekky dapatkan dari wawancaranya dengan sejumlah distributor film-film Kelas B.

Dalam sebuah diskusi mendalam tentang distribusi film-film ringsek dari Indonesia yang diterbitkan dalam jurnal Colloquy (2009: hlm.146) itu, juga menyinggung betapa besarnya keinginan produser untuk memotong jarak antara penonton dari negara Barat dengan tema-tema lokal. Demi tujuan ini, beberapa film bahkan rela membayar mahal bintang film dari negara-negara Barat meskipun mereka bukan pemain film profesional.

Kepada The Jakarta Post, Ekky membeberkan mengenai orang asing sangat menyukai keganjilan dalam film-film Indonesia. Selain Jaka Sembung, film lain berjudul Leak (1981) yang disutradarai oleh Tjut Djalil sempat menjadi salah satu film Kelas B paling laris. Film ini mempertontonkan tokoh perempuan asal Amerika bernama Cathy Kean yang tinggal dan belajar ilmu gaib di Bali.

“Karakter utama wanita dalam film, yang adalah orang asing, sedang belajar sihir hitam mistis Bali yang disebut ‘Leak’. Dalam salah satu adegan, kepala wanita itu meninggalkan tubuhnya melalui leher dan penonton dapat melihat dengan jelas ususnya,” tutur Ekky.

Tujuh tahun kemudian, Tjut Djalil kembali membuat sebuah film yang diproduksi oleh Soraya Intercine Film. Ia memboyong Barbara Anne Constable, bintang film asal Australia untuk bermain dalam film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988). Constable hingga saat kini masih dielu-elukan oleh penggemar cult-film di Amerika sebagai Lady Terminator.

Aktris ini mengatakan dalam sebuah wawancara dengan peneliti dan kurator film Andrew Leavold bahwa ia sebenarnya bukan pemain film terlatih. Kariernya di dunia akting yang bermula dengan menjadi penari dan model di Hong Kong. Dari sana ia mendapat beberapa kontrak film internasional, termasuk Lady Terminator yang merupakan judul internasional untuk Pembalasan Ratu Laut Selatan.

“Tidak lama sebelum saya kembali ke Hong Kong, saya mendapatkan sebuah casting untuk Lady Terminator. Mereka mengatakan akan mengambil gambar di Indonesia, Jakarta, dan pada dasarnya itu adalah versi jiplakan dari The Terminator,” kata Constable.

Sampai awal tahun 1990-an, strategi menggaet penonton internasional lewat wajah-wajah bule masih terus berlangsung. Malah popularitas film kelas B di Amerika Serikat turut menarik produser-produser dari negeri itu untuk turut bergabung.

Produksi gabungan dengan perusahaan Amerika Serikat berhasil memperkenalkan ahli bela diri Cynthia Rothrock kepada penonton Indonesia. Bintang film aksi yang lebih dulu populer dalam film silat Hong Kong itu pernah membintangi beberapa produksi film aksi kriminal berlatar Indonesia, seperti Pertempuran Segitiga (1990), Tiada Titik Balik (1991), dan Bidadari Berambut Emas (1992).